IBU, TETAP IBUKU
Jam meja memekik-mekik sadis membangunkan Adi. Tangannya yang selicin
pualam karena keringat bergerak spontan memukul- mukul jam yang sedaritadi
memekik tanpa henti, hendak melanjutkan mimpi diatas ranjangnya yang nyaman.
Namun, indera pendengaranya menangkap suatu gelombang yang tidak dapat
dielakan, ya! Itu suara ibunya. Dengan suara lantang yang menggelegar, Ibu memaksa
seluruh tubuh Adi tegak dalam rasa jengkel yang mendalam. Dengan segera, badan
lampainya turun melayang menuju kamar mandi, sembari menanggalkan busana yang
tersangkut di raganya.
“Oh Adi, ayolah, segera bersihkan kamarmu terus makan sarapanmu ubahlah
kebiasaanmu ini!” Ibu berkata tegas, menatap tajam Adi yang bergerak malas “Aku
sudah capek bu, cuci baju, cuci piring, bersih-bersih, semuanya sudah aku
lakukan kemarin” Adi menukas, mengalihkan tatapan ke meja yang penuh lembaran
kertas usang disampingnya. ”Itu kan memang kewajibanmu, sekarang lakukan apa
yang Ibu katakan! Ini untuk kebaikanmu di masa depan!”Ibu berkata, mengangkat
tangannya yang putih-kasar dan melambai lambaikanya.” Arggh...!” Adi menggeram,
tanpa melihat ibunya, kembali kekamar, membersihkan pakaian yang berserakan bak daun pohon berguguran.
Kembali dari kamar dengan pakaian lengkap, Adi menuju ruang makan,
menyaksikan ibunya yang sedang menyiapkan makanan dengan cekatan.”Sudah
selesai? Sekarang, habiskan sarapanmu, jangan buang sayurnya seperti kemarin!
Jangan buat Ibu marah lagi!” Ibu menatap lelah anaknya, merasa bosan dengan
sikap Adi yang tidak pernah berubah. ”Sayur lagi? Ibu kan tau ak... ”Kalimat
Adi terputus ketika melihat tangan
ibunya terangkat. ”Jangan buat Ibu marah lagi Adi! Sayur itu baik untuk
tubuhmu! Bayangkan jika tubuhmu kering kekurangan sayur! Ohh... Adi, Ibu akan
lebih baik jika tidak terus-terusan marah kepadamu!” Ibu berkata dengan
lantang, mengisyaratkan tidak ada lagi yang bisa dilakukan dengan anak semata
wayangnya. Dengan tatapan tajam yang menyebalkan, Adi membalas, ”Oh ya! Dan aku
akan jauh lebih baik jika tidak mendengarkan aturan-aturan ibu lagi, aku akan
lebih baik jika tidak ada Ibu! ” suara tajam Adi bergema di seluruh ruangan.
Sontak, Ibu menjatuhkan lap tangan yang dari tadi dipegangnya, tidak
percaya dengan apa yang dikatakan anaknya, mulutnya sedikit terbuka tanpa
mengeluarkan apa-apa, cahaya matanya lambat laun meredup, kecewa akan kata-kata
yang terlontar dari mulut anaknya. Dengan langkah yang lemah, ibu berjalan
menuju kamarnya, meninggalkan Adi yang kebingungan di kursi hijau temaram
seorang diri, memikirkan apa yang salah dengan ucapannya.
Adi berangkat ke sekolah dengan sunyi, tidak seperti biasanya, karena
sebelum sekolah, Ibu pasti memberi beberapa nasehat sembari melepas kepergian
anaknya. Tapi sekarang, tanpa nasehat, tanpa ucapan, Adi berangkat meninggalkan
rumah. Tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada ibunya.Nanti.
10 menit sebelum bel berbunyi, Adi
telah sampai disekolah, tanpa banyak basa-basi, Adi langsung berjalan lurus
menuju kelasnya dengan tatapan hampa, masih memikirkan apa yang telah ia
lakukan terhadap ibunya. Decitan tajam sepatu Adi berbunyi ketika ia memasuki
kelasnya yang luas dengan jendela dan keramik yang bersih mengkilap, langkahnya
yang saat ini terburu-buru langsung menuju kursi kekar yang ada di balik meja
birunya. Tubuh Adi yang kecil benar-benar tidak setara dengan kursi yang
ditumpanginya. Memang benar kata Ibu, “tidak ada untungnya memilih - milih
makanan, hanya akan merugikanmu...”
“Kau kenapa Di? Kok Lesu?” Alif
bertanya, menyenggol siku sahabatnya yang saat ini sedang menggores-goreskan
jarinya di meja kosong. “Ayolah Di, ceritakan masalahmu padaku” Alif membujuk. Dengan
tatapan penuh harap, Adi menceritakan semua yang telah terjadi di pagi hari
sebelum ia berangkat sekolah. Alif adalah sahabat terbaiknya saat ini, yang
benar-benar mengerti apa yang dirasakan kawannya dan dengan senang hati
menawarkan bantuan ketika kawannya ini mendapat masalah. Ya! Dialah Alif,
rambutnya yang bagaikan ribuan per kusut bergerak-gerak ketika mencerna setiap
kata yang dikeluarkan mulut kawaannya.
“Dan kau mau tunggu apa lagi? Segera
pergi menuju rumahmu dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, kepada ibumu!”
Alif langsung memberikan usul kepada kawannya dengan semangat yang
menggebu-gebu. “Kau bermaksud aku melakukannya sekarang?” Adi membalas Alif
dengan ekspresi sedikit kebingungan. “Ondeh Mandeh, pulang sekolah la.. Tak
mungkin la kau melakukannya sekarang” logat Medan dengan sedikit kosakata Padang
diucapkannya dengan fasih.
“Ya! Kau benar! Aku harus minta maaf, tidak seharusnya aku berkata
seperti itu kepadanya”, rona merah mulai muncul diwajahnya, dengan semangat
yang mulai kembali, Adi langsung menyalami kawannya. “Hahaha! Itu baru
kawanku!” Alif mengoceh, menatap kawannya hangat.
Bel pulang menderu nyaring, membuat
seluruh siswa bergerak riang menuju rumah masing-masing, sebagian bergerak ke
tempat lain, mencari sesuatu yang menyenangkan, mengingat besok adalah hari
Minggu. “Ingat kataku, minta maaf padanya dan berjanji tidak akan mengulanginya
kembali”Alif berkata kepada Adi, seolah-olah Adi telah melupakan apa yang
seharusnya dilakukan.” Iya.. Iya, bawel!” Adi balik berkata dengan dengusan
lemah. Dipersimpangan depan sekolah, mereka berpisah, bergerak kearah yang
bertolak belakang satu sama lain.
Adi langsung bergerak cepat menyusuri
gang-gang sempit menuju rumahnya, ini adalah yang ketiga kalinya Adi melewati jalan
sempit berkelok-kelok, karena jalan ini adalah semacam jalan pintas menuju
rumahnya. Dengan geraknya yang terburu-buru, Adi berusaha melirik pohon mangga
yang menurutnya memiliki sedikit kemiripan dengan pohon bergerak yang sering
dilihatnya di tayangan kartun setiap minggu. 15 menit berlalu, akhirnya Adi
mencapai rumahnya yang asri, dengan nafas terengah-engah.
Adi mencoba mengetuk pintu kayu
rumahnya yang telah ditumpuki debu disetiap sudut ukirannya. Tidak mendengar
jawaban yang diharapkan, Adi mengambil kunci cadangan di tempat yang tidak akan
pernah diketahui orang lain. ”Assalamu’alaikum... Bu?” Adi bergerak malu menuju
dapur, tempat ibunya biasa bereksperimen dengan sayur-sayur yang sangat dibenci
Adi. ”Ibu..?” sedikit ekspresi keterkejutan tampil diwajah Adi karena tidak
mendapatkan ibunya disana, tanpa menunggu lebih lama lagi, Adi langsung menuju
kamar ibunya, berharap beliau ada disana. Raut wajah yang benar-benar terkejut
bertengger diwajahnya ketika tidak mendapatkan ibunya dimana-mana disetiap sisi
ruangan. Berharap ibunya sedang pergi kesuatu tempat dan membawa ponsel
pinknya, Adi mengambil ponsel pribadinya dan memencet kencang setiap tombol
seraya menempelkannya ke salah satu telinga kecilnya. Tetapi yang diharapkan
benar-benar tidak terjadi, dering ponsel ibu malah terdengar dari kamar ibunya
sendiri. ”Ibu tidak membawa ponselnya!” Adi terkesiap kebingungan. Terlalu
dalam tenggelam dalam fikirannya yang lebih mirip labirin saat ini, tubuh kurus
Adi melayang jatuh kesebuah jalinan
benda empuk dibelakangnya...
Ditempat
lain, ibu Adi terlihat kesepiaan di jalanan melingkar yang benar-benar dipadati
oleh orang-orang yang hilir mudik disekitarnya. Sebuah tangan kekar berusaha
menariknya keluar dari kerumunan orang dengan secepat kilat langsung membawanya
ke sebuah mobil penuh karat. Teriakan Ibu Adi bergema, sangat keras dan semakin
keras, tetapi tidak ada yang menanggapi, hingga hilang begitu saja...
“Ibuu!!!” Adi berteriak, suaranya bergema
di ruang tamu, dengan raga yang basah karena keringat, Adi segera duduk sembari
mengumpulkan ingatannya. ”Aku bermimpi” Adi bergumam, menyadari bahwa dia
tertidur di sofa empuk dengan posisi yang sangat tidak nyaman. Sambil melihat
jam dinding, Adi berusaha memperhatikan sekelilingnya, berharap ibunya telah
kembali, walaupun dia mengetahui ibunya masih tidak berada dirumah. Adi menyeret
tubuhnya ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan beribadah, meratap sedih akan
perbuatan yang telah dilakukannya.
Betapa saat itu Adi sadar, bahwa dia membutuhkan seorang Ibu,
penyesalannya yang teramat sangat membuat wajahnya tertunduk dalam ketakutan
akan kehilangan sosok yang selama ini telah mengaturnya. “Aku harus mencari Ibu!” Suara Adi yang penuh
tekad menjadi penutup do’a yang sedaritadi dihaturkan kepada-Nya.
Berbekal beberapa foto kecil Ibunya,
Adi bertanya kepada orang-orang dijalanan, berharap seseorang pernah bertemu atau
melihatnya di suatu tempat. Setitik harapan akan keberadaan Ibunya benar-benar
menjadi sesuatu yang paling dibutuhkannya melebihi apapun.
“Hooi Adi!” seseorang berteriak saraya melambaik-lambaikan tangan
kepadanya. “Bagaimana? Sudah selesai kan urusanmu?” Alif berkata kepadanya.
“Ibuku... Dia menghilang” Adi menjawab lesu, tidak mampu menatap sahabatnya,
malu atas perbuatannya. ”Olala!! Apa yang terjadi?” Alif terkejut mendengar
jawaban Adi. Sambil berjalan pelan, Adi menceritakan semua yang dirasakannya,
hingga upaya yang dia lakukan untuk mencari Ibunya.”Aku akan membantumu!” Alif
berkata ringan tanpa beban. “Oh Alif, kau tak mungkin aku libatkan dalam
kasusku sendiri” Adi menolak tawaran Alif. ”Di. Kau tahu, sejak kebakaran 2
tahun yang lalu. Aku telah kehilangan kedua orang tuaku. Ketika aku sedang
menikmati pisang goreng lezat buatan Ibuku di teras rumahku yang sejuk dan
tiba-tiba.... tiba-tiba...” Alif tidak mampu melanjutkan kata-katanya, seluruh
tubuhnya nyaris bergetar mengingat deteil peristiwa yang dialaminya saat itu. “
Dan aku tidak mau kau merasakan apa yang kurasakan saat itu. Setidaknya, aku
bisa mencegahnya” Suara Alif terdengar mantap dipenghujung kalimatnya. ”Oh Alif...Kau
memang sahabat terbaikku!” Adi tidak mampu menahan haru diwajahnya, setetes air
asin jatuh di penghujung matanya yang coklat, mengalir lurus dipipinya,
meninggalkan jejak basah yang perlahan mulai mengering. “Kita tak bisa
berlama-lama disini, kita harus menemukannya!” Alif berkata, bagaikan akan
melakukan pekerjaan terpenting dalam hidupnya. “Tentu saja!” Adi balas berkata,
ujung bibirnya tertarik kebelakang, meninggalkan garis tipis melengkung
diwajahnya.
Detik berganti menit, menit berganti
jam, mereka lalui dengan pertanyaan yang sama kepada setiap orang yang
kebetulan mendekat kesekitar mereka. Beberapa orang berkata baru saja melihat
wanita yang sedang mereka cari, walaupun semuanya hanya melihat seseorang yang
sedikit mirip dengan Ibu Adi dan hal itulah yang paling mengesalkan bagi
mereka. Dengan langkah yang letih, mereka setuju untuk duduk disebuah bangku
kayu lusuh, yang bagian bawahnya telah subur ditumbuhi lumut.
Tidak sampai 10 menit, mereka kembali
melanjutkan pencarian terhadap orang yang sangat memberikan pengaruh terhadap
kehidupan, orang yang berjuang tanpa kenal lelah, memberi tanpa minta balas
budi yang membuat seluruh manusia didunia hadir dalam kelebihannya
masing-masing. Ibu.
“Adi, lihat sana!” Alif menunjuk sebuah taman berjalan mengitarinya, mereka
melewati sebuah bangku kecil, tempat seseorang meringkuk ketakutan disudutnya.
“Hmm.. maaf, anda kenapa?” Adi berkata lembut kepada orang yang sekarang sedang
berusaha menampakkan dirinya. ”Ibu!!” Adi terkesiap, menyaksikan orang yang
dicari-carinya berada didepannya sendiri. “Adi! Apa yang kamu lakukan disini?” Ibu terkejut,
melihat Adi berurai air mata didepannya.
“Maafkan Adi bu, aku adalah anak paling tidak berguna di dunia...” Adi
memelankan suaranya, merasa malu akan apa yang telah ia lakukan. “Apa yang membuatmu
begini?” Ibu bertanya, “Ini Bu...” Adi menaruh tangan didadanya. “Perasaanku
mengatakan bahwa aku telah sangat keterlaluan kepada Ibu... Aku minta maaf bu”.
Sambil memeluk anaknya, Ibu berkata “ Tak ada yang salah nak, Ibu yang terlalu
keras mendidikmu, maafkan Ibu” Ibu membalas keluhan Adi. ”Lalu apa yang Ibu
lakukan disini?” sambil melepaskan ibunya dengan lembut.
Wajah ibu berubah ragu saat akan menjawab pertanyaan
anaknya. “Adi, kamu tahu, semenjak kepergian ayahmu, keuangan keluarga kita jauh
menipis, tidak ada cara lain, selain meminta pinjaman dari bank, fikiran ibu
tidak lebih kepada apa yang kamu ucapkan tadi pagi, kata-kata itu benar-benar
tajam bagi Ibu, kembali dari bank, ibu langsung membeli beberapa makanan untuk
makan malammu hari ini, hingga ibu sadar bahwa uang yang Ibu pinjam sudah tidak
ada. Ibu dirampok. Ibu hanya bisa meringkuk disini memikirkan betapa bodohnya
Ibu” Ibu berkata sedih, menatap sepatunya yang kotor.
“Tidak ada yang perlu dipikirkan bu, sekarang aku disini, aku berjanji
akan menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya, semuanya akan kita lakukan
bersama-sama” Adi berkata mantap, melirik Alif yang tersenyum lebar melihat
pertemuan Ibu dan anak ini. “Oh Adi, ibu harap kamu akan selalu seperti ini
selamanya” Ibu menatap penuh harap kepada Adi. “Dan kamu Alif, terimakasih
telah menjadi sahabat terbaik untuk Adi. Kamu bagaikan kakak yang selalu menjaganya. Kamu juga telah
memberi cahaya kecil dalam keluarga kami “Ibu berkata lembut kepada Alif, yang
saat ini merasakan hangatnya cinta kasih seorang Ibu kepadanya. “Baiklah!
Semuanya sudah selesai, ayo Bu, kita pulang” Adi tersenyum penuh arti, sambil
mendongak kearah langit sore hangat bercampur warna jingga temaram.
Dengan senyum lebar tanpa beban, mereka pulang menuju rumah yang serasa jauh
berbeda dengan rumah dahulu dan berharap. Semua akan jauh lebih baik dari
sebelumnya. Semoga. []
@RidhoFadhlurrahman